Selamat, Kau Telah Berhasil.

Senin, 27 April 2015
Selamat malam kau yang di sana. Apa kabar? Sudah lama rasanya kita tak pernah berbagi cerita lagi. Chatting hingga hampir tengah malam, menahan tawa saat semua orang di rumah telah terlelap, hingga menumpahkan semua keluh kesah. Sadarkah kau? Saat aku bercerita, saat itu pula hidupku tak pernah "selembut" yang kau kira.
How's yours? Terkadang aku hanya mengandai-andai, seandainya saja engkau yang di sana sedang tersenyum juga saat menatap layar ponsel. Eh, tidak. Bukan ponsel tepatnya. Kau menatap monitor laptop dan aku yang menatap layar ponsel. Ahh, terlalu munafik memang jika aku berkata aku tak pernah ingin menjadi satu-satunya alasanmu tersenyum. Aku pernah berfikir seperti itu. Dan kau tahu? Berfikir seperti itu sungguh menyakitkan. Bagaimana tidak, jika sehari-hari aku lebih sering melihatmu tertawa bersama mereka dan mengabaikanku yang tak bersuara. Hei, tahukah kau? Saat itu aku tahu apa artinya bersyukur dan ikhlas. Aku mencoba untuk selalu bersyukur karena telah melihatmu tersenyum bahkan tertawa, walau bukan karenaku (lagi). Seandainya kau tahu, melihatmu tertunduk sedih itu lebih menyakitkan daripada kau mengabaikanku sekalipun aku ada di dekatmu. Saat itu juga aku tahu, aku telah tak peduli atas semua sakit yang semakin hari semakin tak terhitung jumlahnya. Yaa terlalu munafik memang, jika aku berkata aku turut bahagia karena kau pun bahagia. Di satu sisi aku yang harus tersakiti. Tapi tahukah kau? Sampai sekarang aku tak memperdulikan itu. Kita berteman, bukan? Bukankah teman artinya selalu berusaha turut serta dalam kebahagiaan kawannya? Bukan kah begitu?
Yaa, setidaknya aku selalu bisa menahan sakit hati dan egoku sebelum kurang lebih 30 menit yang lalu. Kau tahu? Saat aku membaca sedikit tentang curahan hatimu di media sosial beberapa saat yang lalu, entah mengapa rasanya aku sudah tak memperdulikan egoku lagi. Aku sudah tak ingin berpura-pura bahagia di depanmu lagi. Biarlah jika aku tiba-tiba berubah. Anggap saja angin lalu bagimu. Kau tahu kan, betapa sulitnya membuat "jarak"? Ahh aku telah berpenat-penat membuat itu semua, dan kau malah berhasil mendekatkannya kembali. Sadarkah kau jika aku memiliki harapan yang kugantungkan padamu? Ya, terlalu naif memang jika aku berkata aku tak memiliki harapan apapun. Ada. Tetapi aku selalu berusaha keras untuk menolaknya.
Masih ingatkah kau, ketika aku bercerita jika aku sedang tertawa sambil menangis dalam satu waktu, dan saat itu kau bertanya mengapa, dengan singkat kujawab dengan kata "capek". Tahukah kau, aku yang lelah dengan semua rasa ini? Sebuah kisah klasik bak negeri dongeng terkadang, yang bisa membuat siapapun iri jika tahu yang sebenarnya. Tapi apakah kau tahu? Disisi lain aku selalu lelah berkejaran dengan kenyataanku sendiri. Memiliki hati dan logika yang bertentangan itu melelahkan.
Dan sadarkah kamu? Yang selama ini aku ceritakan ke kamu adalah kamu sendiri? Ya aku tahu, kau tak akan sadar atas itu semua.
Oh iya lagi satu. Tak sadarkah? Aku mengetahui semua rencanamu dari awal, tetapi aku hanya diam. Jika kau masih ingat dengan perkataanku, aku tahu semuanya, hanya saja aku hanya memilih diam. Aku yakin, jika kau mengingatnya, kau akan sadar.

Jika hanya ingin membuat hatiku lebih hancur dari sebelumnya adalah tujuanmu dari awal ketika kita mulai dekat, percayalah, kau telah sukses. Bahkan lebih sukses dari yang kuduga. Selamat! :)

What's Wrong With Me?!

31 Desember 2014
-21.58-

Suara rintikan air dari balik jendela mengingatkanku. Ya, kembali ‘menjelajahi’ waktu. Bukan arti menjelajahi pada umumnya, hanya saja sekedar berputar-putar di kepala. Diingatan. Memang benar, ya, apa kata psikolog di media sosial itu(entah sungguhan atau hanya orang yang mengaku), hujan mempunyai dampak besar untuk mengingat sebuah masa lalu. Kurang lebih seperti itulah katanya. Yaa, walaupun suara rintikan air dari balik jendela itu bukanlah hujan sungguhan(entahlah, aku juga tidak mengeceknya, apakah itu hujan sungguhan atau hanya bunyi air yang jatuh dari penampungan air.), tetapi tetap saja, otak kananku lebih mendominasi daripada otak kiriku. Ya seperti yang kalian tahu, ‘long term memory’, jadi dengan mudah aku bisa saja ‘menjelajahi’ waktu lalu jika aku mau. Atau malah bayang-bayang yang telah lalu seperti mengajakku bermain ‘kejar-kejaran’. Aneh gak sih? Hahaha
Menulis di malam hari memang bukan pilihan yang mudah. Bisa saja apa yang ingin kutulis jadi buyar lari semua karena mengantuk. Tapi aku suka malam hari. Suasanya tenang. Apalagi kalau tiba waktu aku telah memasuki kamar. Haah, serasa punya dunia sendiri. Yah, kamarku bisa dibilang tidak rapi. Novel yang belum habis kubaca berceceran, boneka disana-sini, ada kabel cash ponsel dan laptop, baju yang tergantung, belum lagi dengan kertas dan alat tulis yang menjadi bahan pelampiasan emosiku. Aku bisa saja mencorat-coret sesukaku jika mau.
Sekali lagi aku suka malam hari. Tetapi tidak untuk malam ini. Aku sejujurnya ‘sedikit’ membencinya. Aku benci keributan. Aku tidak nyaman jika ada banyak orang disekelilingku yang  sedang asyik bercengkrama apalagi dengan bunyi terompet dan petasan itu. Boleh saja kalian menyebutku egois, tak berperasaan, gak gaul, sok sibuk, dan sebagainya yang sejenis. Tapi apa kalian tahu bahwa manusia ada 2 sikap? Ekstrovert dan introvert, (mungkin begitu tulisannya). Ada yang terbuka dengan dunia luar, ada yang tertutup. Aku juga tidak tahu penjelasan pasti keduanya. Sangat susah mengingat-ingat istilah psikologi seperti itu.
Jadi ini semua tentang apa? Ketika aku memulai menulis tulisan ini, aku ingin menceritakan tentang seseorang. Tapi ketika sampai di pertengahan, aku berpikir untuk tidak melakukannya. Ya sudahlah, biarkan saja. Lebih baik aku memendamnya daripada mengumbarnya. Bukankah diam adalah cara terbaik jika kau mengungkapkan tapi tak ada yang mengerti?

Jika saja seseorang itu membaca tulisanku. Aku akan sangat bersyukur J

Not Every Feelings Walk In a Right Way

Buat kalian, para cewek. Ya, walaupun antara ada dan tiada yang baca post ini.

Lo pernah gak sih, ngerasa bener-bener berada dititik jenuh? Lo ngerasain capek yang bener-bener capek? Ngerasa semua usaha lo sia-sia? Apapun harapan lo tiba-tiba nguap gitu aja? Segalanya yang lo lakuin endingnya bakal serba salah? Dan disitu lo udah gak bisa apa-apa lagi kecuali berdoa dalem hati, semoga semua kembali seperti sedia kala. Just because one person. Yap! One person.
Kebayang kan, gimana keselnya sama tu orang. Gimana geregetannya sama tu orang. Kebayang? Nggak lah! Gue sendiri aja gak bisa bayanginnya. Paling endingnya bakalan nyalahin diri sendiri juga. Kan, serba salah lagi.

Ini semua berawal dari kisah kurang lebih 4 bulan yang lalu. Dimana gue ngerasa semua hal-hal di hidup gue perlahan mulai berubah. Gue coba nerima orang-orang baru di hidup gue, dan ngelepas orang-orang yang rasanya gak perlu dan gak penting lagi because 'all is fake'.
Saat itu, gue bener-bener bisa ngerasain yang namanya 'bahagia' lagi. Dan asal lo tau, disaat gue baru ngerasain yang namanya bahagia, saat itu juga gue sadar. Kita punya jalan yang beda. Kita beda. Kita cuma bisa sampai disitu, gak lebih dan gak kurang. Gue keliatan bahagia bukan berarti gue gak nyimpen rasa sakit loh ya. Lo nusuk gue secara perlahan. Hari ini lo bikin gue seneng, besoknya lo yang jadi moodbreaker, besoknya gue seneng karna lo lagi, besoknya lo yang jatuhin mood gue lagi. Hahaha, mau ngajak becanda ya lo?
Awalnya semua gue 'biasa'in aja, 'wajar'in aja, 'maklum'in aja, 'sabar-sabar'in aja. Tapi lama-lama gue hancur juga. Iya, gue bisa nyembunyiin semua dari diri lo, tapi gue gak bisa nyembunyiin semua dari diri gue sendiri kalo sebenernya gue udah bener-bener capek sama semua ini.
Lo inget waktu lo cerita tentang dia, dan gue cerita tentang dia? Sadar gak sih, ada yang aneh sama 'kita'? Lo sadar gak raut muka gue berubah? Atau cuma gue yang bayangin raut muka lo berubah apa memang iya?
Sampe disitu gue berusaha kuat-kuatin diri dan hati aja. Gue berusaha untuk selalu 'gak ada apa-apa dan gak kenapa-kenapa' di depan lo. Tapi balik lagi, sadar gak sih lo? Senyum gue makin lama makin maksa, ketawa gue makin tertahan, Atau semua cuma gue aja yang ngerasa tanpa lo bisa lihat? Open your 'eyes'...!
Dan akhirnya, gue bener-bener capek, bener-bener ada dititik jenuh atas semua ini. Makin lama rasa percaya gue ke elo makin hilang. Emang belum semua, tapi kalo terus-terusan gini, mungkin gue gak akan percaya ke lo lagi. Dan lo tau? Gue mau cerita singkat ke elo. Sejak lo yang bisa bikin gue ngerasa bahagia lagi, disaat itu cuma lo satu-satunya orang yang gue percaya. Tapi, alangkah hebatnya dirimu yang menyia-nyiakan kepercayaan orang.

Harusnya gue ngelakuin ini dari dulu. Gue harusnya bikin jurang pemisah diantara kita. Iya, sebenernya ada. Dan lo tau? Saat gue nyoba ngelewatin jurang itu? Gue jatuh. Lo bisa bayangin apa yang gue maksud kan?
Balik lagi, not every feelings, walk in a right way. But, who's us? That we're a someone who cover all with a fake smile? Or it's just a game? I don't know and I never want to know.

Hei Kau, Renungkanlah Ini!

Aku ingin bertanya. Suatu pertanyaan sederhana tapi aku tak yakin semua wanita dapat menjawabnya dengan akurat.
Pernahkan kau bersahabat dengan laki-laki? Bukan. Bukan ini pertanyaanku. Yang ingin kutanyakan, apakah kau pernah berpikir, jika perempuan dan lelaki bersahabat, tak akan pernah ada yang "baik-baik" saja? Pasti ada salah satu yang terluka. Aku percaya itu. Walaupun tak ada satupun dari mereka yang mau mengakuinya, tetapi aku yakin itu sudah termasuk hukum alam.

Hei, this is for you. Seorang yang menjadi moodbooster sekaligus moodbreaker-ku yang sedang berbaring menatap langit-langit kamar atau mungkin telah memandang hitam alam bawah sadar :
Aku ingat saat pertama kita bertemu. Kau diam dan akupun diam. Setelah lumayan lama, kita baru saling bicara. Dan entah mengapa, kita menjadi semakin akrab. Aku tahu pada saat itu kau begitu malas berbicara dengan teman-teman wanita lainnya. Tapi tidak untukku. Ah, mungkin hanya aku saja yang merasakannya. Aku juga ingat, ketika aku harus "mundur" karena ada orang yang menjadi "penggemarmu". Huh, rasanya ingin kubunuh saja kau waktu itu. Kenapa mereka bisa blak-blakan menunjukkan "sayangnya" kepadamu. Sedangkan aku? Hahaha, motto-ku tetap "silent is better when no one can understand your words." Alhasil? Aku tetap diam.
Pertemuan pertama kita jauh dari kata sempurna. Kita masih sama-sama terlalu muda. Terlalu labil. Terlalu tidak mengerti seperti apa kita seharusnya.
Tetapi pada akhirnya, Sang Empunya Hidup berkata lain. Tuhan semakin mendekatkanmu padaku. Yaah, walaupun tak sedikit gejolak yang aku alami. Sebentar senang, sebentar sedih. Sebentar mendekat, sebentar jauh. Entah apa yang kita pikirkan. Yang kau pikirkan, dan yang aku pikirkan. Kita punya jalan masing-masing. Kita tak harus bersama. Ya, aku mengerti itu. Keberadaanku semakin jauh, karena mereka. Aku juga mengerti akan hal ini. Tapi satu yang tak bisa kumengerti, apa yang kau pikirkan ketika aku diam dan kau mencoba untuk membuatku bicara? Kau begitu bersusah payah mengajakku bicara ketika aku sudah kesal kepadamu kemudian diam. Satu alasan yang tak ingin membuatku bicara pada saat itu. Aku suka dengan caramu memanggil namaku, dengan mengalihkan perhatianku, dengan kamu yang tersenyum seperti anak kecil dihadapanku. Aku ingat, kau pernah berkata "harusnya kamu bahagia liat aku banyak yang suka gini", dan kau-pun tersenyum getir. Sebuah senyuman miris. Mungkin kau sama mirisnya denganku yang saat itu tetap mencoba menahan sedih. Tak tersenyum sama sekali.
Oh God.. Bagaimana bisa aku bahagia jika melihat perempuan-perempuan genit itu di dekatnya?! Bagaimana bisa aku rela jika mereka terlalu norak untuk menunjukkan kecantikannya di khalayak orang banyak?!
Aku juga ingat ketika kau berlagak untuk melindungiku. Waktu itu kau berkata "kalau ada yang macem-macem sama kamu, ngomong aja ke saya", dan aku hanya membalasnya dengan tertawa.
Huft. Sebenarnya aku siapa? Kau siapa? KITA siapa? Menunjukkan kekhawatiran masing-masing, tetapi saling berusaha menutupi. Berusaha untuk tidak saling menyakiti, tetapi pada akhirnya selalu ada yang harus pergi tanpa permisi, kemudian ada yang mencari, memulai lagi dari awal seolah tak ada yang terjadi, tapi akhirnya terulang lagi.
Bukankah kita sudah saling dewasa? Bukankah jika dewasa berarti kita sudah bisa menahan ego dan gengsi? Kau tahu, berada didekatmu dan mendengar kau menyebut namaku, itu sudah cukup. Aku bahagia akan itu. Aku bersyukur Tuhan mengirimkan hamba sepertimu yang bisa menggoreskan tinta kehidupan dalam hidupku.
Sekarang aku ingin bertanya, seperti apa kehadiranku dalam hidupmu? Mungkin hanya kau dan Tuhan yang tahu.

Memori Itu Kembali

22:27 WITA. Seperti biasa, kini aku sedang "bersemedi" di kamar. Tenang, bukan semedi dalam arti yang sesungguhnya, tetapi hanyalah diam sambil berkosentrasi memikirkan kejadian di balik lagu. Kejadian yang dialami penulis lagu, atau mungkin kejadian yang aku alami dan kusangkutpaut-kan dengan lagu ini? Ahh, sudahlah aku tak peduli dengan kejadian apa yang menimpa sang penulis lagu ketika ia menulis lagu ini atau apa yang sedang dipikirkannya ketika ia mengarang, tapi aku lebih memikirkan memori lampau yang terbangun lagi setelah memutar lagu ini.

Playlist lagu yang berjudul "cldymrsyvrnd" akhirnya kubuka lagi setelah aku bertekad untuk move on dari semuanya. Bukan benar-benar ingin melupakan kenangannya, jika kenangannya bisa kuingat sampai aku tua nanti, aku ingin itu, tapi aku lebih ingin untuk membuang segala euforia rasa pada saat itu. Rasa... cinta sesaat?Oh bukan-bukan. Tidak. Bukan cinta sesaat. Tidak ada yang namanya cinta sesaat. Adanya ketertarikan sesaat. Kalau bukan sesaat, itu baru namanya cinta. Lantas rasaku ini apa?

Lagu-lagu ini terus berputar layaknya tayangan film-film pendek yang digabungkan menjadi satu. Samar-samar terbayang semua kejadian itu. Di Bandung, Yogyakarta, Surabaya, dan Mataram. Mungkin jika semua kisah roman itu kutulis dalam suatu cerpen akan menghasilkan judul "1 Cinta 4 Kota 9 Cerita", Hahahaha. Ya, begitulah. Sekarang memori lampau itu telah berhasil mendominasi otakku lagi. Jujur, aku benci jika mengingat semua. Ya, SEMUA. Sampai aku mengingat mengapa aku memilih untuk pergi.

Dear "you", ...


Apa kabar? Bagaimana liburanmu?
Huh, aku berani bertaruh pasti lebih seru daripada liburanku.
Seandainya kau tahu bahwa selama dua minggu ini aku telah bersusah payah untuk menghilangkan semua rasa itu. Haha, bodoh memang, membuang waktu untuk menaruh hati padamu, kemudian menghabiskan waktu untuk sedikit demi sedikit mengikis semua rasa ini. Suatu tindakan bodoh, kan?
Ya ya, mungkin jika kau membaca ini, kau akan mengerti bagaimana rasanya jadi aku. (jika kau dapat membayangkannya). Tapi bagaimana bisa, kemungkinan kau membacanya hanyalah tidak ada 1%.
Sudahlah, ketika kita bertemu nanti, kumohon jangan membangun tembok harapan lagi jika akhirnya kau juga yang akan merobohkannya.
Kuharap kau akan baik-baik saja. Maksudku, baik-baik saja dalam hal apapun.
MUNGKIN jika suatu saat kau ingat semua memori itu, aku harap kau akan mengerti mengapa aku yang "pergi mendahului".
Terimakasih atas cerita baru yang telah kau rangkai dalam hidupku.
Aku harap kau tidak merasakan yang sama denganku. Karena kau tahu? ini perih.


-Your Secret Admirer-

Sebuah Rindu dan Kilas Balik

Alunan intro lagu Taylor Swift berupa petikan gitar terdengar jelas di telingaku. I Almost Do. Ya, lagu itu yang sedang kudengar sekarang. Entah mengapa, jika aku mendengar lagu ini, aku langsung bisa mengingatmu. Mengingat kebersamaan kita di kala itu.

Apa kau tahu, betapa tersiksanya sebuah jiwa yang merasakan suatu rasa janggal? Yang tentunya aku sendiri tidak mengerti. Rasanya baru kemarin kita bercakap-cakap sambil berjalan beriringan tanpa ada yang sadar dengan keakraban kita. Rasanya baru tadi pagi ketika aku curi-curi pandang kearahmu, dan mata sendumu itu berbalas menatap tanpa ada sepatah katapun. Tapi memang baru tadi pagi.

And I just wanna tell you, it takes everything in me not to call you..

Tadi aku sempat keceplosan mengatakan panggilan yang kau berikan padaku. Dan tebak apa yang terjadi! Rasanya ada yang berbeda di hati ini. Rasa.... entahlah, aku tak bisa menjelaskannya. Seperti ngilu perih pada luka luar, mungkin. Tapi seperti ada rasa yang.. yaahh.. seperti rasa rindu, mungkin. Rindu mendengar suara itu memanggil dengan khasnya.

And I wish I could run to you, and I hope you know that everytime I don't, I almost do..

Aku sempat berpikir, bagaimana jika aku yang membuka percakapan duluan? Tapi aku tak yakin kalau aku bisa. Begitu banyak kalimat yang sudah terngiang di otakku dan ingin kusampaikan padamu. Tapi setelah diri ini berada tepat di dekatmu, membuka mulut saja tak mampu. Hanya mata dan hati yang dapat berbicara. Begitulah pikirku.

Mungkin ini terdengar / terbaca aneh. Aku sendiri menganggapnya aneh. Jika aku mengingat kilas balik saat-saat bersamamu, rasanya selama ini kita sudah dekat. Tapi mengapa aku baru merasa ada yang "aneh" saat ini? Saat "mereka" telah siap menghujani kita beribu pertanyaan ketika kita terlihat dekat.

Aku menganggap hati ini telah beku. Beku karena luka yang selalu menghampiri. Mungkin ini adalah peringatan agar aku berhati-hati saat melangkah ke "sebuah area" bernama cinta. Tadinya kupikir, rasa cinta itu akan beku dan menjadi kaku selamanya. Tapi setelah menatap mata itu dan berada di dekatmu, ada rasa nyaman dan hangat yang tak bisa dituangkan dalam sebuah tulisan.

Mungkin ini adalah tulisan roman cinta picisan yang terdengar / terbaca aneh. Tapi terserahlah. Ini yang aku rasakan. Bukan yang "kau" rasakan.

Dia, Kau, dan Aku

Di bawah langit kelabu ini semuanya bermula. Ketika seorang yang pandai berpura-pura tegar akhirnya benar-benar berusaha untuk berpura-pura tersenyum.
Hei! Aku sudah tahu ini dari awal. Tapi mengapa aku baru merutuki hatiku, perasaanku, sekarang?

Aku benci tatapan itu. Tatapan penuh harap ketika tak seorangpun menyadarinya. KECUALI AKU.
Aku benci mata itu. Mata yang berpura-pura tak menyadari kehadiranmu, padahal ia di sampingmu.
Aku benci sikap itu. Sikap yang mengacuhkan sekitarnya tetapi akan fokus ketika melihatnya.
Aku benci sikap itu. Sikap yang seolah-olah kau adalah ratu di panggung sandiwara dan ia hanyalah rakyat jelata yang selalu memerhatikanmu walau kau acuhkan hingga menjadi sedemikian rupa.

Aku benci diriku yang terlihat tegar dihadapanmu walaupun sebenarnya aku hancur. Aku benci diriku yang memerhatikanmu walau dalam jarak. Aku benci diriku yang mencintaimu, yang diam-diam menaruh hati padamu.