Hei Kau, Renungkanlah Ini!

Aku ingin bertanya. Suatu pertanyaan sederhana tapi aku tak yakin semua wanita dapat menjawabnya dengan akurat.
Pernahkan kau bersahabat dengan laki-laki? Bukan. Bukan ini pertanyaanku. Yang ingin kutanyakan, apakah kau pernah berpikir, jika perempuan dan lelaki bersahabat, tak akan pernah ada yang "baik-baik" saja? Pasti ada salah satu yang terluka. Aku percaya itu. Walaupun tak ada satupun dari mereka yang mau mengakuinya, tetapi aku yakin itu sudah termasuk hukum alam.

Hei, this is for you. Seorang yang menjadi moodbooster sekaligus moodbreaker-ku yang sedang berbaring menatap langit-langit kamar atau mungkin telah memandang hitam alam bawah sadar :
Aku ingat saat pertama kita bertemu. Kau diam dan akupun diam. Setelah lumayan lama, kita baru saling bicara. Dan entah mengapa, kita menjadi semakin akrab. Aku tahu pada saat itu kau begitu malas berbicara dengan teman-teman wanita lainnya. Tapi tidak untukku. Ah, mungkin hanya aku saja yang merasakannya. Aku juga ingat, ketika aku harus "mundur" karena ada orang yang menjadi "penggemarmu". Huh, rasanya ingin kubunuh saja kau waktu itu. Kenapa mereka bisa blak-blakan menunjukkan "sayangnya" kepadamu. Sedangkan aku? Hahaha, motto-ku tetap "silent is better when no one can understand your words." Alhasil? Aku tetap diam.
Pertemuan pertama kita jauh dari kata sempurna. Kita masih sama-sama terlalu muda. Terlalu labil. Terlalu tidak mengerti seperti apa kita seharusnya.
Tetapi pada akhirnya, Sang Empunya Hidup berkata lain. Tuhan semakin mendekatkanmu padaku. Yaah, walaupun tak sedikit gejolak yang aku alami. Sebentar senang, sebentar sedih. Sebentar mendekat, sebentar jauh. Entah apa yang kita pikirkan. Yang kau pikirkan, dan yang aku pikirkan. Kita punya jalan masing-masing. Kita tak harus bersama. Ya, aku mengerti itu. Keberadaanku semakin jauh, karena mereka. Aku juga mengerti akan hal ini. Tapi satu yang tak bisa kumengerti, apa yang kau pikirkan ketika aku diam dan kau mencoba untuk membuatku bicara? Kau begitu bersusah payah mengajakku bicara ketika aku sudah kesal kepadamu kemudian diam. Satu alasan yang tak ingin membuatku bicara pada saat itu. Aku suka dengan caramu memanggil namaku, dengan mengalihkan perhatianku, dengan kamu yang tersenyum seperti anak kecil dihadapanku. Aku ingat, kau pernah berkata "harusnya kamu bahagia liat aku banyak yang suka gini", dan kau-pun tersenyum getir. Sebuah senyuman miris. Mungkin kau sama mirisnya denganku yang saat itu tetap mencoba menahan sedih. Tak tersenyum sama sekali.
Oh God.. Bagaimana bisa aku bahagia jika melihat perempuan-perempuan genit itu di dekatnya?! Bagaimana bisa aku rela jika mereka terlalu norak untuk menunjukkan kecantikannya di khalayak orang banyak?!
Aku juga ingat ketika kau berlagak untuk melindungiku. Waktu itu kau berkata "kalau ada yang macem-macem sama kamu, ngomong aja ke saya", dan aku hanya membalasnya dengan tertawa.
Huft. Sebenarnya aku siapa? Kau siapa? KITA siapa? Menunjukkan kekhawatiran masing-masing, tetapi saling berusaha menutupi. Berusaha untuk tidak saling menyakiti, tetapi pada akhirnya selalu ada yang harus pergi tanpa permisi, kemudian ada yang mencari, memulai lagi dari awal seolah tak ada yang terjadi, tapi akhirnya terulang lagi.
Bukankah kita sudah saling dewasa? Bukankah jika dewasa berarti kita sudah bisa menahan ego dan gengsi? Kau tahu, berada didekatmu dan mendengar kau menyebut namaku, itu sudah cukup. Aku bahagia akan itu. Aku bersyukur Tuhan mengirimkan hamba sepertimu yang bisa menggoreskan tinta kehidupan dalam hidupku.
Sekarang aku ingin bertanya, seperti apa kehadiranku dalam hidupmu? Mungkin hanya kau dan Tuhan yang tahu.

0 komentar:

Posting Komentar